welcome, there..

welcome, there..

Sabtu, 24 Maret 2012

KISAH SEORANG YANG TERBUANG (bag.2)

Aku tak ingat apa-apa kecuali menyadari kalau aku tumbuh ditengah keluarga yang bahagia..
Mami, Papi, si sulung Marcel, aku Ben, dan si bungsu kami yang cantik Carla.
Aku tumbuh selayaknya anak seusiaku, bermain dengan saudaraku, membeli mainan, memancing bersama papi saat week-end, yaa.. hal-hal standar yang dilakukan anak-anak..
Tanpa aku menyadari rahasia apa yang bersembunyi dibalik hidupku, yang suatu saat akan menguak..
Aku bahkan tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi dalam hidupku kedepannya..
Aku hampir tak punya beban saat itu..
Apalagi papi kami adalah pengusaha yang sukses, ditambah lagi mami yang pintar berbisnis, jadilah keuangan kami bisa  dikatakan lebih lebih lebih dari cukup.
Aku tak pernah punya mainan impian, karna papi selalu mengabulkan apa yang aku pinta, hari itu juga..
Tak jarang aku temui orang-orang berdecak kagum memandangi kami yang turun dari mobil mengkilap papi, yang papi bilang mungkin hanya 2 orang di negeri ini yang mampu memiliki tunggangan seperti papi.
Lemariku dipenuhi pakaian-pakaian branded yang sejatinya belum pantas dipakai anak-anak seumuranku, karna mami sangat rajin menghadiahiku Pakaian sepulangnya dia dari bepergian..
Mamipun sangat mencintai kami anak-anaknya, karna mami yang begitu cantik tak segan mengotori jari-jarinya yang lembut dan kuku-kukunya yang dicat mengkilat, hanya untuk membuatkan kami bekal untuk kesekolah, walau sebenarnya mami sangat bisa dengan mudah memerintahkan pembantu untuk mengerjakan semuanya. Tapi, mami ingin kami merasakan cintanya..
Intinya, kehidupanku sangat sempurna.
Hingga saat itu tiba. Saat dimana hidupku berubah kelam dan tragis.. Aku masih berusia 9 atau 10thn saat itu.
Aku yang tak tahu apa-apa waktu pulang dari sekolah mendapati rumah kami telah hampir kosong..
Beberapa orang pria dewasa hilir mudik mengangkati barang-barang dari dalam rumah ke truk besar yang terparkir tepat didepan pagar rumah.
Sofa-sofa, Guci-guci mahal mami, tempat tidur, lemari-lemari, dan semuanya..
Aku yang masih kebingungan segera menghambur kedalam rumah, mencari sosok papi atau mami yang bisa aku tanyai mengapa orang-orang asing itu mengangkut barang-barang kami..
Setiap sudut rumah sudah aku periksa, sayang mami papi serta saudara-saudaraku tidak aku temui..
Aku mulai putus asa dan hampir menangis, hingga aku temukan secarik kertas di sudut kamarku yang kini sudah kosong melompong.
Aku ambil kertas itu yang ternyata berisikan tulisan tangan papi, dan mulai membacanya.
Aku lupa isi akuratnya surat itu, hanya saja yang aku tangkap dari surat itu adalah papi memberi tahu kalau mulai hari ini 
rumah yang kami tinggali sudah bukan milik kami lagi. 
Papi juga meminta maaf karna papi tak bisa membawaku bersama mereka.
Dan yang lebih membuatku terpukul adalah tulisan papi yang memberitahuku bahwa sebenarnya aku ini bukan anak mami dan papi, mereka hanya menemukanku saat bayi di tempat pembuangan sampah di depan rumah kami (rumah mereka maksudku), karna suara tangisku terdengar sampai kedalam rumah mereka. 
Hingga akhirnya mereka merawatku, memperlakukanku seperti anak mereka sendiri.
Tapi tidak sepenuhnya menurutku, karna kini mereka meninggalkan aku sendiri.
Tanpa mereka berfikir apa yang akan terjadi padaku sepeninggal mereka.
Tegakah mereka membiarkan aku menangis tersedu-sedu karna tidak tahu harus apa dan bagaimana..
Bagaimana aku makan, siapa yang mengantarku kesekolah, siapa yang menyiapkan bajuku usai mandi???
Pertanyaan itu berputar-putar dikepalaku.. 
Aku mulai menangis meraung-raung, hingga salah satu dari orang-orang dewasa itu menggendongku keluar rumah dan membiarkanku tetap menangis tanpa mengasihani atau bertanya mengapa aku menangis.
Hanya saja aku mendengar percakapan mereka yang mengatakan kalau papi terlibat hutang miliyaran yang membuat mereka terpaksa menyita rumah ini.
Lalu, salah satu dari mereka yang bertubuh hitam besar mengusirku  pergi, aku menurut saja karna jujur saja akuketakutan melihat matanya yang hampir keluar melototiku.
Tak berapa lama kemudian mereka mulai menghidupkan truk-truk mereka dan beranjak meninggalkan rumah kami, tak lupa mereka mengunci pagar kokoh kami dengan rantai-rantai rumit.
Setelah mereka pergi, aku kembali lagi kedalam rumah dengan memanjat pagar.
Aku juga tak habis fikir bagaimana bisa anak kelas 4 sd sepertiku memanjat pagar yang tinggi itu.
Aku dapati pintu rumah kami terkunci dan digantungi karton tebal bertuliskan 'rumah ini disita'.
Dengan air mata beruraian aku meringkuk di depan pintu, menangis sejadi-jadinya.
Didalam hatiku masih berharap mami dan papi datang lagi kerumah ini untuk menjemputku, maka aku putuskan untuk tetap menunggu mereka di rumah ini, walau aku harus tidur diluar.
Malam harinya aku tidur di teras belakang, dimana dulu mami dan papi duduk santai sambil menyeruput coklat hangat mereka, sementara aku dan saudara-saudara (sesungguhnya bukan) asyik berlari-larian di rerumputan hijau yang terhampar di halaman. 
Airmataku selalu terurai ketika mengingat kebersamaan kami dulu.
Aku juga masih tak percaya kalau mami dan papi tega meninggalkan aku sendiri.
Dan kini aku benar-benar sendiri.
Nyamuk-nyamuk kenyang menghisap darahku, suara serangga malam menemani tidurku, tak jarang aku terbangun tengah malam, ketakutan dan mulai menangis lagi.
Berhari-hari sudah terlewati, tapi papi dan mami tak pernah datang. Aku sudah sangat lemas dan hampir tak bisa berdiri karna terakhir aku makan beberapa hari yang lalu dari bekal terakhir yang mami buatkan, karna kebetulan bekalku tidak sanggup aku habiskan hari itu disekolah.
Aku tidak bisa meminta bantuan tetangga, karna kami dan tetangga hampir tak mengenal satu sama lain.
Rumah-rumah kami saling dibatasi oleh tembok-tembok tinggi.
Sangat individu. 
Aku hampir hendak menemui satpam yang menempati pos di gerbang masuk komplek kami untuk meminta sedikit makanan, tapi aku takut diusir pergi, nanti papi dan mami malah sulit menemuiku kalau aku pergi dari rumah ini, batinku.
Aku hampir putus asa menunggu.. 
Sampai pada suatu sore, datang sekeluarga baru menempati rumah kami.
Mereka sedikit kaget menemukanku tergeletak di teras belakang.
Samar-samar mataku menangkap sosok mereka, karna penglihatanku sudah mulai berkunang...
Aku tak ingat apa-apa lagi, tiba-tiba saja aku sudah terbangun di tempat tidur di kamar belakang rumahku, yang dulunya adalah kamar pembantu kami.
Ternyata keluarga yang menolongku ini adalah orang baru yang menempati rumah kami.
Sayangnya, mereka tak sepenuhnya baik.
Mereka memang merawatku, tetapi aku diperlakukan seperti pembantu  mereka.
Aku yang harus bangun dini hari, mengerjakan semua pekerjaan rumah, mereka bahkan tak mengizinkanku pergi kesekolah.
Ditendang dan diinjak sudah akrab dengan hari-hariku. 
Mereka menyiksaku seperti binatang.
Pernah suatu waktu aku disiram dengan kopi panas hanya gara-gara aku tidak tahu harus berapa sendok menempatkan gula dalam gelas bapak si pemilik rumah.
Malam harinya aku menangis tersendat-sendat di dalam kamar karna tanganku yang melepuh karna disiram air panas tadi berdenyut-denyut perih, aku menangis tertahan takut si tuan rumah tahu, karna itu berarti aku harus kedinginan tidur di kamar mandi seperti yang mereka lakukan padaku beberapa hari sebelumnya karna mendapatiku sedang menangis.
Mereka bilang aku cengeng dan tidak tahu terimakasih.
Hampir setiap malam tubuhku terasa sakit dan pegal karna beratnya pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan tiap harinya..
Aku sering mengintip diam-diam ketika kelurga itu sedang berkumpul di ruang keluarga yang dulu juga merupakan tempat mami, papi, marcel, aku, dan carla berkumpul.
Hatiku kembali teriris mengingat mereka.
Selama kurang lebih tiga tahun aku berada dalam siksaan keluarga baru ini, tp apa boleh buat. Daripada aku mati dijalanan, lebih baik aku bertahan disini, setidaknya mereka masih memberiku makan dan kamar.
Walau mereka sangat keji terhadapku, tak peduli kalau aku masih terlalu kecil untuk mereka perlakukan seperti itu.

Tapi memang benar kalau pepatah mengatakan kesabaran itu ternyata berbatas, aku sudah merasa tidak tahan lagi di rumah ini, lalu aku memutuskan untuk pergi.
Aku sudah merencanakan ini sebelumnya, kubekali diriku dengan uang beberapa puluh ribu yang aku curi dari uang belanja dari si pemilik rumah. Aku terpaksa mencuri karna mereka memang tidak pernah memberiku uang.
Aku menyelinap keluar pagar setelah berpura-pura menyapu halaman.
Akhirnya aku terbebas dari keluarga kejam itu, aku menyesali mengapa tak dari dulu kabur dari rumah itu.
Walau sekarang aku tak tahu harus bagaimana dan kemana.


Tetapi, keluar dari rumah itu tidak serta merta membuat kemalangan dan siksaan itu sirna dariku.
Aku pernah ikut bergabung dengan geng pencopet cilik, yang berlawanan sekali dengan hati nuraniku.
Tapi, lagi-lagi dengan alasan supaya perutku tetap terisi, aku terpaksa menjalaninya dengan sangat berat hati.
Tuhan.. Maafkan aku.. Jeritku dalam hati..
Tapi Tuhan tahu bukan bagaimana sulitnya hidupku..
Aku terbiasa menyelinap ditengah keramaian, mencari-cari kesempatan untuk memindahkan dompet-dompet orang kaya yang lengah untuk aku pindahkan kedalam baju rombengku..
Kadang aku malas untuk pergi mencopet, karna kadang aku benar-benar tak sanggup melakukannya.
Tapi bos besar akan marah padaku.
Dia akan memukuliku hingga babak belur, pernah samapai aku pingsan, dan akupun tidak dapat jatah makanku selama 2hari.
Jadi, aku lebih memilih terpaksa melakukannya.
Hingga pada suatu hari, kejadian menjijikan itu terjadi padaku.
Si bos besar mulai menjadikanku budak nafsunya, melayani orientasi sexnya yang menyimpang..
Karna itu aku sanggup merontak.
Ok, aku bisa dipaksa mencopet. Aku bisa dipukuli sesuka hati. Aku bisa melakukan kejahatan lainnya.
Tapi, tidak untuk yang satu ini.
Aku tidak bisa melayani nafsu bejatnya yang menjijikan.
Sampai akhirnya aku kabur dari komplotan mereka. Walau resikonya sangat berat, yaitu aku mati jika mereka menemukanku.
Maka dari itu aku terus berjalan bermil-mil, sejauh mungkin agar mereka tak menemukanku..
Semoga Tuhan melindungiku..

Sekarang aku berhasil menjadi gelandangan kumuh.
Aku hanya bisa bertahan hidup dari mengemis dan belas kasihan orang.
Kelaparan, makian, tatapan jijik sangat biasa bagiku.
Aku tak benar-benar peduli, karna yang aku tahu bagaimana aku bisa terus hidup..
Walau hidup di jalanan benar-benar terasa keras, tapi aku rela daripada menjadi budak orang-orang berhati iblis.
Walau untuk tidur di emper toko-toko aku harus mempertaruhkan nyawaku, karna harus berebut dengan gelandangan lainnya.
Pernah juga aku berkelahi sampai darah mengucur deras dari pelipisku karna gelandangan lain menghantamnya dengan batu segenggaman orang dewasa, hanya karna dia menuduhku mengambil tempatnya..
Yaaa.. begitulah kehidupan jalanan.


Pernah terpikir  olehku untuk mencari mami dan papi, tapi dimana??
Aku tak tahu apa-apa..
Terbesit juga tanya yang bergejolak dimana wanita yang melahirkanku?
Akankah aku menemuinya?
Lagi-lagi aku harus menelan asa..
Mami, papi.. kabar kalian?? Apakah uban sudah memenuhi rambut kalian? Aku rasa iya.. Tapi aku yakin mami masih tetap cantik dan papi masih terlihat gagah.
Kak Marcel, Apakah kakak sudah menjadi seorang pilot yang hebat seperti yang kakak cita-citakan sewaktu kecil? Aku harap semua sudah kakak dapatkan.
Eh, bagaimana dengan adik kecilku yang cantik, Carla. Aku yakin Carla sudah menjadi gadis yang sangat cantik dan banyak merebut perhatian lawan jenis. Seperti waktu Carla masih TK. Aku bisa berkelahi dengan teman-temanku hanya karna mereka sering menggoda Carla,sampai Carla sering menangis. 
Oohh, andai kalian tau aku sangat merindukan kalian..

Kini sudah beberapa tahun berlalu, aku masih tetap sama.
Hidup dijalanan dan menderita.
Aku kembali berjalan tertatih-tatih.
Parahnya kakiku kini sudah teramat perih, setelah aku periksa ternyata telapaknya sudah dipenuhi goresan-goresan dan luka-luka melepuh karna aku berjalan tanpa alas kaki, jelas saja kakiku bergesekan dengan aspal yang panas akibat terik matahari.
Aku duduk dipinggiran trotoar,karna hanya inilah yang bisa aku gunakan untuk beristirahat secara gratis.
Tanpa ada yang melarang, mengusir, atau memaki..
Kepalaku sudah terasa sangat berat (sudah sedari tadi sebenarnya).
Kini, pandanganku mulai terasa kabur.
Kepalaku berdenyut kian kencang, sendi-sendiku kini mulai ikut melemas.
Tuhan, tanda apakah ini??
Apa sudah saatnya Kau menempatkanku dipangkuanmu??
Yaa, aku siap, Tuhan..
Tapi akankah Kau mengabulkan satu saja permintaanku??
Satu saja..
Aku ingin bertemu keluargaku..
Yaa, dua keluargaku..
Keluarga mami pai yang telah membesarkanku dan kelurga ibu yang melahirkanku..
Aku hanya ingin berterima kasih kepada mereka.
Berterimakasih pada papi mami karna telah berjuang membesarkan aku dan sempat memberikanku kebahagian..
Berterimakasih kepada ibu yang bersedia melahirkanku, maksudku terimakasih untuk tidak membunuhku sewaktu masih menjadi janin dan telah mengizinkan aku mengenal dunia..
Berterimakasih pada kakak dan adikku karna telah membuat masa kecilku menjadi sempurna..
Terimakasih sekali..


Kini, badanku sudah tergeletak begitu saja di jalanan.
Ambruk seketika karna tak punya daya lagi..
Aku tak tahu aku pingsan atau sudah mati..
Tapi aku masih bisa mendengar kerumunan orang berkumpul melihat gelandangan ini terbaring di jalanan..
Kebanyakan dari mereka berkali-kali berucap mengasihani aku..
Suara mereka mulai terdengar seperti kumpulan lebah..
Tak terdengar jelas lagi.. semakin lama semakin terdengar jauh.. jauh.. lalu menghilang..
Dan tiba-tiba saja semuanya gelap gulita..




-The end-
Chi-Chi


Rabu, 21 Maret 2012

KISAH SEORANG YANG TERBUANG

Kaki lusuhku yang tak beralas terus menyusuri tanah-tanah kering dan gersang ini..
Gersang.. Segersang hatiku yang nelangsa..
Aku tak tahu hendak kemana kaki ini melangkah..
Mencari apa dan siapa..
Karna aku sudah terlalu lelah untuk berfikir..
Air mataku sudah lama membatu..
Terhuyung-huyung aku menyusuri bumi ini, karna memang sebenarnya aku sudah tidak sanggup lagi berjalan.
Aku hampir lupa kapan aku terakhir makan. Yaa, mungkin sekitar 70 jam yang lalu aku berhasil membuat gigiku mengunyah sesuatu yang tak pantas disebut makanan, karna kutemukan itu di tumpukan benda-benda berbau busuk. 
Tapi cukup mengganjal perutku yang meronta kelaparan.
Walau aku harus beberapa kali menyingkirkan belatung-belatung pada makanan itu. Dan aku harus berebut dengan lalat-lalat yang ikut menggerogoti butiran-butiran nasi yang warnanya sudah mulai berubah kekuningan itu..
Sekali lagi tak apa.. Aku masih bisa bersyukur atas semua itu..
Lagipula aku tak tahu persis bagaimana rasa nikmat dan bahagia itu, karna memang aku tak pernah benar-benar mendapatkan semuanya.

Aku bernama Ben..
Paling tidak begitu orang-orang memanggilku.
Aku adalah seorang laki-laki yang mungkin berusia 20 tahun, karna  aku tak pernah tahu jelas berapa sesungguhnya usiaku.
Aku tidak tahu wanita mana yang harus kupanggil ibu, juga tidak tahu siapa yang pantas kupanggil ayah.
Karna memang asal-usulku tidak jelas.
Aku terlahir dengan ketidakjelasan..
Mungkin aku adalah orang yang paling hina dunia ini. Betapa tidak?! Karna orang yang Tuhan percayakan menjadi orang tuaku, tega membiarkanku terlantar seperti ini..
Mereka tidak menginginkan aku. Mungkin aku ini anak haram hasil hubungan gelap atau anak dari korban perkosaan, sampai-sampai orangtuaku ingin mengenyahkan aku.
Tapi lagi-lagi aku tak tahu pasti..
Sedih?? Sepertinya aku sudah mulai tidak mengenal lagi perasaan haru itu.
Marah?? Apalagi itu. Aku tak tahu harus marah pada siapa. Tetapi setidaknya aku tak benar-benar tidak sendirian karna aku masih punya Tuhan. Tuhan yang berbaik hati masih membiarkan aku bernafas dengan segala kekurangan..
Aku harus tetap bertahan sampai Tuhan mengasihani aku dan mengakhiri penderitaanku dengan kematian..
Aku berharap waktu itu akan segera datang karna aku kaaaaadang sudah tak sanggup lagi.. Tapi aku bukan pengecut yang mampu malakukan perbuatan hina dengan menabrakan diri ke kereta yang sedang melaju atau terjun bebas dari jembatan layang ke aspal jalan raya yang bisa meremukkan tulangku. 
Tentu saja aku tidak sehina itu.. 
Biar semuanya aku serahkan pada Tuhanku..

Sebenarnya hidupku tidak sepenuhnya menyedihkan, karna aku pernah merasakan hangatnya berada ditengah-tengah keluarga. Keluarga itu pernah menorehkan kebahagiaan dalam kisah hidupku.
Sampai akhirnya mereka menghilang entah kemana, tak meninggalkan jejak sedikitpun untuk aku telusuri.
Meninggalkan aku yang meraung-raung sendirian di rumah mewah yang kami tinggali.
Aku tak tahu mengapa...

To be continued..